Rabu, 01 Mei 2013

TANDA-TANDA KEMATIAN

TANDA-TANDA KEMATIAN

Allah telah memberi tanda
kematian seorang muslim sejak
100 hari, 40 hari, 7 hari, 3 hari
dan 1 hari menjelang kematian.
.
Tanda 100 hari menjelang ajal :
Selepas waktu Ashar (Di waktu
Ashar karena pergantian dari
terang ke gelap), kita merasa dari
ujung rambut sampai kaki
menggigil, getaran yang sangat
kuat, lain dari biasanya, Bagi yang
menyadarinya akan terasa indah di
hati, namun yang tidak menyadari,
tidak ada pengaruh apa-apa.
.
Tanda 40 hari menjelang
kematian :
Selepas Ashar, jantung berdenyut-
denyut. Daun yang bertuliskan
nama kita di lauh mahfudz akan
gugur. Malaikat maut akan
mengambil daun kita
dan mulai mengikuti perjalanan
kita sepanjang hari.
Tanda 7 hari menjlang ajal :
Akan diuji dengan sakit, Orang
sakit biasanya tidak selera makan.
Tapi dengan sakit ini tiba-tiba
menjadi berselera meminta
makanan ini dan itu.
.
Tanda 3 hari menjelang ajal :
Terasa denyutan ditengah dahi.
Jika tanda ini dirasa, maka
berpuasalah kita, agar perut
kita tidak banyak najis dan
memudahkan urusan orang yang
memandikan kita nanti.
.
Tanda 1 hari sebelum kematian :
Di waktu Ashar, kita merasa 1
denyutan di ubun-ubun,
menandakan kita tidak sempet
menemui Ashar besok harinya.
Bagi yang khusnul khotimah akan
merasa sejuk di
bagian pusar, kemudian ke
pinggang lalu ketenggorokan,
maka dalam kondisi ini
hendaklah kita mengucapkan 2
kalimat syahadat.
.
Sahabatku yang budiman,
subhanAllah, Imam Al-
Ghazali, mengetahui kematiannya.
Beliau menyiapkan sendiri
keperluannya, beliau sudah
mandi dan wudhu, meng-kafani
dirinya, kecuali
bagian wajah yang belum ditutup.
Beliau memanggil saudaranya
Imam Ahmad untuk
menutup wajahnya. SubhanAllah.
Malaikat maut
akan menampakkan diri pada
orang-orang yang terpilih. Dan
semoga kita menjadi hamba yang
terpilih dan siap menerima
kematian kapanpun dan di
manapun kita berada.
Aamiin.
Semoga Tulisan Ini Bermanfaat

Minggu, 28 April 2013

Kutangisi Hari-Hariku Yang Sia-Sia

Kutangisi Hari-Hariku Yang Sia-Sia



Wajah saudariku memucat, tubuhnya mengering. Meskipun begitu, ia tetap selalu membaca al-Qur’an. Jika engkau mencarinya, ia akan senantiasa rukuk, sujud, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Begitulah yang selalu ia lakukan, baik di pagi hari, sore, bahkan tengah malam tanpa jemu. Sementara itu, aku lebih suka membaca majalah sastra dan buku cerita, atau menonton video. Kewajibanku terbengkalai, bahkan shalatku berantakan. Kendati video sudah kumatikan, tapi aku masih asyik menonton film selama tiga jam berturut-­turut. Nah, kini adzan berkumandang di mushalla dekat rumahku. Aku kembali ke tempat tidur. Suara saudariku terdengar memanggilku dari mushalla.
“Ya, apa yang engkau inginkan, Naura?” kataku.
Dengan suara datar saudariku bilang, “Jangan dulu tidur sebelum shalat subuh.”
Oh, satu jam lagi baru shalat subuh, karena yang kudengar kali ini baru adzan pertama. Dengan suara yang lembut -begitulah kebiasaan saudariku, bahkan sebelum menderita penyakit ganas yang jatuh terbaring di ranjang- saudariku memanggilku, “Kemarilah, Hanna, duduklah di dekatku.”
Aku tidak kuasa menolak permintaannya. Engkau pun juga pasti begitu. Jika merasakan ketulusan dan kejernihannya, engkau akan tunduk memenuhi ke­inginannya.
“Ada apa, Naura?” kataku.
“Duduklah!”
“Ini aku sudah duduk, ada apa?” desakku.
Dengan suara yang merdu dan welas asih saudariku membacakan ayat Al-Qur’an,
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (Ali ‘Imran: 185).
Sejenak ia terdiam. Setelah itu, ia bertanya kepadaku, “Bukankah engkau percaya pada kematian?”
“Ya, aku percaya,” jawabku.
“Bukankah engkau percaya kalau setiap amalmu kelak akan dihisab, baik yang kecil maupun yang besar?”
“Ya, tetapi Allah Maha Penyayang dan perjalanan masih panjang,” jawabku.
“Saudariku, apakah engkau tidak khawatir kematian datang secara tiba-tiba? Lihatlah Hindun lebih muda darimu, ia meninggal dunia karena kecelakaan. Lihatlah si ini dan ini. Kematian tidak mengenal usia.”
Dengan suara ketakutan, karena suasana gelap di mushalla, aku berkata, “Aku sudah takut pada kegelapan. Sekarang engkau menakut-nakutiku dengan kematian. Kalau begitu, bagaimana aku bisa tidur? Kukira engkau ingin memberitahuku bisa ikut pergi bersama kami di liburan ini.”
Tiba-tiba suara saudariku kertak-kertuk di teng­gorokan. Hatiku begidik. Ia berkata, “Mungkin tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang berbeda. Bisa jadi begitu, Hanna. Usia itu di tangan Allah.”
Setelah berkata demikian, saudariku menangis. Aku mulai memikirkan penyakit ganas yang ia derita. Diam-diam dokter memberi tahu ayahku bahwa karena penyakit yang diderita, usia saudariku tidak lama lagi. Tetapi, siapa yang membocorkan hal itu pada saudariku? Ataukah dig sedang merasakan hal itu?
“Apa yang engkau pikirkan?” kata saudariku membuyarkan pikiranku. “Apakah engkau kira aku berkata begitu karena aku sakit? Tidak. Bisa jadi aku hidup lebih lama daripada orang yang sehat. Dan engkau sendiri sampai kapan akan hidup? Ketahuilah, Hanna, hidup itu hanya sementara. Kemudian apa? Tiap-tiap kita akan pergi meninggalkan dunia ini; ke surga atau neraka. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
”Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung”(Al Ilmran: 185).’”
“Engkau akan baik-baik saja,” kataku seraya berlari meninggalkannya. Perkataan saudariku terngiang-ngiang di telingaku.
“Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadamu. Jangan lupa shalat yang delapan di pagi hari.”
Tidak lama setelah itu, aku mendengar pintu kamarku diketuk orang. Jelas ini bukan waktunya aku bangun tidur. Kudengar isak tangisan dan gemuruh suara banyak orang. Apa yang terjadi? Oh, ternyata keadaan Naura mem­buruk, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, ternyata tahun ini tidak jadi berangkat jalan-jalan. Tahun ini aku ditakdirkan untuk tinggal di rumah. Jam satu siang, ayah datang dari rumah sakit.
“Engkau bisa menjenguknya sekarang, ayo cepat,” kata ayah kepadaku.
Menurut ibu, suara ayah mengisyaratkan kegun­dahan. Suaranya berubah. Mantel telah di tangan, lalu di mana supir? Kami pun segera meluncur ke rumah sakit. Jalan yang kami telusuri bersama supir untuk jalan-jalan biasanya tampak pendek. Tetapi, hari ini tampak panjang, bahkan sangat panjang. Di manakah gerangan keru­munan orang yang membuatku menoleh kanan-kiri? Di sampingku ibuku berdoa untuk saudariku.
“Dia anak yang saleh dan taat. Aku belum pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu,” kata ibuku lirih.
Memasuki pintu luar rumah sakit, kami menyaksikan pemandangan banyak pasien. Ada pasien yang mengerang- erang, ada korban kecelakaan, dan ada pula yang matanya cekung. Engkau barangkali tidak bisa membedakan, apakah mereka penghuni dunia atau akhirat. Sebuah pemandangan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Segera kami menelusuri anak tangga. Ternyata, saudariku dirawat di ruang ICU.
Seorang perawat menenangkan ibuku. Ia bilang keadaan saudariku membaik setelah sempat pingsan. Di rumah sakit itu tidak diperkenankan masuk ke ruang perawatan pasien lebih dari satu orang, apalagi ini ruang ICU. Di tengah kerumunan para dokter, melalui jendela kecil kulihat mata saudariku, Naura, melihatku. Adapun ibuku berdiri di sisinya. Dua menit kemudian, ibuku keluar karena tidak sanggup membendung air matanya. Mereka mengizinkanku masuk, asal tidak terlalu banyak berbicara dengan pasien. Dua menit sudah cukup.
“Apa kabar, Naura?” sapaku.
“Sore kemarin aku baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi padamu?
Setelah memagang tanganku, saudariku bilang, “Sekarang, alhamdulillah aku baik-baik saja.”
“Alhamdulillah, tapi mengapa tanganmu dingin?” kataku.
Aku duduk di pinggiran dipan sembari memegangi betis Naura.
“Apakah sebaiknya jauhkan yang kiri dari yang kanan, kasihan jika engkau sampai merasa terhimpit,” kataku.
“Tidak, aku hanya memikirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. ” (Al-Qiyamah: 29-30)
Hanna, doakanlah aku, karena mungkin sebentar lagi aku akan mengawali hari akhiratku. Perjalananku begitu jauh, tetapi bekal yang kubawa teramat sedikit.”
Mendengar perkataan saudariku, air mataku tumpah tak terasa. Aku menangis, tak peduli sedang berada di mana. Aku terus menangis. Ayah kelihatannya lebih mengkhawatirkanku daripada Naura. Memang, mereka tidak terbiasa melihatku menangis dan menyendiri di kamar seiring terbenamnya mentari di hari berkabut itu. Rumahku hening mencekam.
Anak perempuan bibiku masuk. Peristiwa begitu cepat terjadi. Orang-orang pun berdatangan. Suara menggaduh. Satu yang kutahu; Naura telah tiada. Naura meninggal dunia. Aku hampir tidak bisa membedakan siapa saja yang datang, juga tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Ya Allah, di manakah daku? Apa yang tengah terjadi? Aku tak berdaya, bahkan untuk menangis sekalipun. Beberapa saat kemudian, mereka memberitahuku bahwa ayah membawaku untuk mengucapkan perpisahan pada saudariku. Selain itu, mereka bilang aku menciumnya. Tidak ada yang kuingat selain satu hal, yaitu ketika aku melihatnya pucat pasi di ranjang kematian sempat membacakan ayat Al-Qur’an, ‘Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan).’ Aku mulai menyadari sebuah hakikat;
‘Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihaIau.’ (AI-Qiyamah: 29-30)
Tanpa sadar, malam itu aku menengok mushalla saudariku. Saat itu aku teringat dengan siapa aku berbagi kasih sayang ibu. Aku terkenang pada orang yang turut menanggung kesedihanku. Aku teringat pada sosok yang turut menghalau dukaku. Selain itu, aku juga teringat pada orang yang memohonkan hidayah Tuhan, dan yang menumpahkan air mata sepanjang malam saat meng­ajakku bicara tentang kematian dan hari penghitungan amal..
Ini malam pertama ia berada dalam kuburnya. Ya Al­lah, kasihanilah ia, dan sinarilah kuburnya. Ini mushafnya, ini sajadahnya, ini … dan ini … Bahkan, ini gaun bermotif bunga yang pernah diceritakan kepadaku, ‘Gaun ini akan kusimpan buat hari pernikahanku.’ Jika teringat pada semua itu, aku tak kuasa membendung air mata pe­nyesalan pada hari-hariku yang sia-sia. Aku terus menangis dan berdoa semoga Allah mengasihiku, menerima taubatku, dan memaafkanku. Aku juga berdoa semoga Allah meneguhkannya di kuburnya seperti yang sering ia mohon pada-Nya.
Entah mengapa, aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana jika yang meninggal dunia itu aku? Ke mana arah perjalananku? Karena rasa takut yang menyelimutiku, aku sengaja tidak mencari jawaban. Aku hanya menangis sedu sedan. Allahu Akbar!
Suara adzan subuh berkumandang, kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku merasa damai dan tentram sembari mengulangi bacaan adzan. Kulipat bajuku, lalu berdiri melaksanakan shalat subuh. Aku shalat seperti or­ang yang akan segera mati, sebagaimana shalat yang dilakukan saudariku sebelumnya. Jika pagi aku tidak menunggu petang, dan jika petang aku tidak menunggu pagi. [Az-Zaman al-Qadim, hal.4]

Surat Untuk Allah

Surat Untuk Allah


Aku bangun pagi seperti kebiasaanku, meski hari ini adalah hari liburku. Putri kecilku, Rima pun demikian. la juga terbiasa bangun lebih cepat.
Aku saat itu sedang duduk di depan mejaku sibuk dengan buku-buku dan lembar-lembar kertasku.
“Mama, apa yang engkau tulis?” tanya Rima.
“Aku menuliskan sepucuk Surat kepada Allah,” jawabku.
“Apakah Mama mengizinkan aku untuk membacanya??” tanya Rima lagi.
“Tidak, Sayangku. Surat-suratku ini sangat khusus dan aku tidak mau seorang pun membacanya,”jawabku.
Rima pun keluar dari ruang kerjaku dengan hati yang sedih. Namun ia telah terbiasa dengan itu semua. Aku memang selalu menolaknya.
Kejadian itu telah berlalu selama beberapa minggu. Untuk pertama kalinya, aku pergi ke kamar Rima. Rima gugup saat melihatku masuk. Duhai, mengapa ia tiba-tiba menjadi gugup??
“Rima, apa yang engkau tulis?” tanyaku.
la semakin gugup. Namun ia menjawab: “Tidak Mama, ini adalah kertas-kertas rahasiaku.”
Menurut Anda, apakah yang ditulis oleh seorang anak perempuan berusia 9 tahun dan ia takut jika ada yang melihatnya?!
“Aku menulis Surat kepada Allah seperti yang Mama lakukan,” ujarnya lagi.
Tapi tiba-tiba ia memotong sendiri ucapannya dengan mengatakan: “Tapi apakah semua yang kita tuliskan akan terwujud, wahai Mama??”
“Tentu saja, putriku. Karena Allah Maha mengetahui segala sesuatu.,” jawabku.
Ia tidak mengizinkanku untuk membaca apa yang ia tulis. Aku pun keluar meninggalkan kamarnya. Aku mendatangi Rasyid, suamiku, untuk membaca koran seperti biasa. Aku membaca koran itu, tapi pikiranku melayang memikirkan putri kecilku.
Rasyid rupanya memperhatikan kegelisahanku. la mengira bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kesedihanku. Ia berusaha menenangkanku bahwa ia akan mendatangkan seorang pembantu atau perawat untuk meringankan bebanku.
Duhai Tuhanku, aku tidak pernah berpikir seperti ini. Aku pun memeluk kepalanya dan mencium keningnya yang selama ini begitu lelah dan berpeluh keringat demi aku dan putriku, Rima.
Dan hari ini, ia mengira aku sedih karena itu semua. Aku menjelaskan padanya apa yang menyebabkan kesedihan dan kegelisahanku.
Hari itu, Rima pergi ke sekolah. Dan ketika ia pulang, ia menemukan seorang dokter ada di rumahnya. la segera berlari untuk melihat ayahnya yang sedang didudukkan di sebuah kursi. Rima duduk di sampingnya dan menghiburnya dengan canda dan bisikan cintanya.
Sang dokter menjelaskan kepadaku bagaimana kondisi Rasyid yang memburuk, lalu ia pergi. Aku pura-pura lupa bahwa Rima masih anak-anak. Tanpa ampun, aku berterus terang kepadanya apa yang dikatakan dokter kepadaku, bahwa jantung ayahnya yang menyimpan begitu banyak cinta untuknya semakin melemah. Ia tidak akan hidup lebih dari tiga minggu. Segera saja tangisan Rima pecah. Dan ia terus menangis sambil mengulangi ucapannya: “Mengapa semua ini terjadi pada Papa? Mengapa?”
“Doakanlah kesembuhan untuknya, wahai Rima. Engkau harus menjadi anak yang pemberani dan jangan pernah lupa akan rahmat Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Karena engkau adalah putri Papa satu-satunya,” ujar Sang ibu.
Rima terdiam mendengarkan ibunya. la melupakan kesedihannya dan menelan semua rasa sakitnya. Keberaniannya tiba-tiba muncul dan ia berkata: “Ayahku tidak akan matil”
Di setiap pagi, Rima mencium pipi ayahnya yang hangat. Namun hari itu, ketika ia mencium ayahnya, ia memandangi sang ayah dengan pandangan lembut, lalu berkata: “Ayah, andai saja engkau bisa mengantarku satu hari saja seperti teman-temanku yang lain.”
Sebuah kesedihan langsung membuatnya larut, namun ia berusaha menyembunyikannya. la mengatakan; “Insya Allah, hari itu akan datang. Ayah akan mengantarmu ke sekolah, Rima.”
Ia mengucapkan itu meski ia yakin bahwa sakitnya itu tidak akan mampu menyempurnakan kegembiraan putri kecilnya.
Aku mengantarkan Rima ke sekolah. Dan ketika aku tiba di rumah, entah mengapa sebuah keisengan menggodaku untuk melihat surat-surat yang pernah dituliskan Rima kepada Allah. Aku mencarinya di meja belajarnya, namun tak menemukan apapun. Dan setelah begitu lama mencari, tidak juga ada hasil.
Aduh, di mana gerangan surat-surat itu?! Apakah ia merobek-robeknya setelah ia menulisnya?!
Mungkin ada di sini. Selama ini Rima begitu menyayangi kotak ini. Berkali-kali ia memintanya dariku, maka aku pun mengosongkan isinya dan memberikan kotak itu kepadanya.
Tuhanku, kotak ini berisi begitu banyak surat dan semuanya untuk Allah!
“Ya Tuhan … ya Tuhan .. semoga anjing tetangga kami akhirnya mati, karena ia selalu menakutiku!!”
“Ya Tuhan, semoga kucing kami melahirkan begitu banyak anak kucing. Itu untuk mengganti anak-anaknya yang mati!!”
“Ya Tuhan,  semoga sepupuku akhirnya lulus, karena aku mencintainya!!”
“Ya Tuhan, semoga bunga-bunga di taman rumah kami begitu cepat menjadi besar, agar setiap hari aku dapat memetik setangkai bunga dan memberikannya kepada ibu guruku.”
Dan banyak lagi surat-surat lain yang semuanya begitu polos. Dan di antara surat paling lucu yang aku baca adalah ketika ia menuliskan:
“Ya Tuhan..ya Tuhan..jadikanlah akal pembantu kami semakin cerdas, karena ia telah membuat ibuku lelah…”
Ya Allah, semua surat itu isinya benar-benar dikabulkan. Sejak lebih dari seminggu, anjing tetangga kami mati! Kucing kami telah mempunyai anak-anak, Ahmad – sepupunya-  juga lulus dengan cemerlang dan bunga-bunga di taman kami memang menjadi besar sehingga Rima setiap hari memetik sekuntum bunga untuk diberikan kepada ibu gurunya.
Ya Allah, tapi mengapa ia tidak pernah mendoakan kesembuhan untuk ayahnya agar ia tidak terbebani dengan penyakitnya?!!
Aku menjadi begitu bingung, andai saja ia mendoakan ayahnya. Kebingungan itu tidak terputus kecuali oleh deringan telepon yang mengganggu. Pembantu mengangkatnya lalu memanggilku: “Nyonya, ada telpon dari ibu guru.!”
Ibu guru?! Ada apa dengan Rima?! Apakah ia melakukan sesuatu?!
Ibu guru itu kemudian menceritakan kepadaku bahwa Rima jatuh dari lantai 4 ketika ia sedang berjalan menuju rumah ibu gurunya yang tidak hadir. Ia ingin memberinya setangkai bunga dan ketika ia melihat dari balkon, bunga itu jatuh dan Rima pun ikut terjatuh.
Sungguh sebuah dentuman yang sangat keras yang tak mampu aku pikul, begitu pula Rasyid. Akibat keterkejutannya Yang begitu dahsyat, ia mengalami stroke di mulutnya. Dan sejak hari itu, ia tidak lagi mampu berbicara.
“Mengapa Rima bisa tewas seperti itu?”
Aku sungguh-sungguh tidak bisa memahami berita bahwa putri tercintaku telah tiada..
Setiap hari aku menipu diriku sendiri dengan pergi ke sekolahnya seakan-akan aku masih mengantarnya pergi ke sana.
Aku melakukan segala sesuatu yang dahulu senang dilakukan putri kecilku. Setiap sudut rumah selalu mengingatkanku tentangnya. Aku terkenang pada suara tawanya yang selalu memenuhi rumah kami dengan kehidupan.
Bertahun-tahun telah berlalu sejak kematiannya dan seakan-akan itu terjadi hari ini.
Suatu hari, pada pagi hari Jum’at, tiba-tiba pembantu kami datang tergopoh-gopoh dan mengatakan bahwa ia mendengarkan ada suara yang berasal dari kamar Rima.
Ya Tuhanku, apakah masuk akal jika Rima kembali lagi?? Ini sungguh sebuah kegilaan dan mustahil.
“Engkau mungkin hanya mengkhayal,” ujarku kepada pembantu kami.
Aku sendiri belum pernah menginjakkan kakiku ke kamar itu sejak kematian Rima. Rasyid bersikeras agar aku pergi ke sana dan melihat apa yang terjadi.
Aku memasukkan kunci ke pintu dengan hati yang penuh debar. Kubuka pintu dan aku tidak bisa menguasai diriku.
Aku duduk menangis dan menangis. Aku melemparkan tubuhku ke atas tempat tidurnya. Ranjang itu berderik. Oh, aku ingat.
Sudah berulang kali Rima mengatakan padaku kalau tempat tidurnya selalu berderik dan mengeluarkan suara jika ia bergerak. Dan aku selalu lupa memanggil tukang kayu untuk memperbaikinya. Ah, tapi sekarang tidak ada gunanya lagi.
Tapi apa yang telah menimbulkan suara keras yang dikatakan pembantu kami?
Oh, rupanya itu adalah suara papan hiasan dinding bertuliskan ayat kursi yang jatuh. Dulu, Rima selalu berusaha membaca ayat itu setiap hari hingga ia menghafalnya. Dan ketika aku mengangkat papan itu untuk menggantungkannya kembali, aku menemukan selembar kertas yang diletakkan di belakangnya.
Ya Tuhan, ini adalah salah satu dari sekian banyak surat-suratnya. Menurut ANda, apakah gerangan yang tertulis dalam surat itu? Dan mengapa ia meletakkannya di balik tulisan ayat yang mulia itu?
Ini benar-benar salah satu surat yang dituliskan Rima kepada Allah. Di dalamnya tertulis:
“Ya Tuhanku..ya Tuhanku…biarlah aku mati dan Papa-ku tetap hidup.”

Semoga Kisah Ini Berguna Bagi Kita

Lihatlah Kepada Yang Lebih Rendah Dari Anda Dalam Perkara Dunia


Lihatlah Kepada Yang Lebih Rendah Dari Anda Dalam Perkara Dunia

 Oleh: Ustadz Abdul Mu'thi Almaidani

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah dalam Kitab Al-Jami’, Bab Adab dari Bulughul Maram :

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :

Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kalian dan janganlah kalian melihat kepada orang yang lebih tinggi dari kalian, karena yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah Ta’ala yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (Muttafaq ‘alaih)
Penjelasan:
1. Dalam perkara-perkara dunia, hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah dari kita.

2. Sesungguhnya ALLAH Ta’ala menjadikan di antara hamba-hamba-Nya ada yang miskin dan kaya dengan hikmah dan keadilan-Nya.

3. Kewajiban para hamba bukanlah membanding-bandingkan nikmat ALLAH Ta’ala yang diberikan kepada setiap hamba, akan tetapi setiap hamba hendaknya selalu bersyukur atas nikmat ALLAH, baik pada nikmat yang besar maupun nikmat yang kecil. Sebagaimana firman ALLAH Ta’ala :
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. [ Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat:7]

4. Bersyukur kepada ALLAH Ta’ala meliputi 3 syarat, yaitu :
- Menisbahkan nikmat itu hanya pada ALLAH Ta’ala ;
- Mengakui bahwa nikmat itu berasal dari ALLAH Ta’ala dan bukan semata-mata dari kemampuan dirinya sendiri ;

- Menggunakan nikmat-nikmat tersebut dalam perkara-perkara keta’atan kepada ALLAH Ta’ala bukan dalam perkara-perkara maksiat.

5. Melalui hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam memberikan tuntunan agar kita tidak cepat kufur terhadap nikmat ALLAH Ta’ala. Karena kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat ALLAH disebabkan selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya dalam perkara dunia.

6. Sesungguhnya bukanlah seorang hamba itu tidak diberi nikmat oleh ALLAH, namun karena hamba itu selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya dalam perkara dunia, sehingga akibatnya dia selalu merasa kurang dan tak pernah merasa puas.

7. Hendaknya melihat kepada orang-orang yang faqir dan miskin sehingga kita akan lebih bersyukur kepada ALLAH, yang dengannya akan mendorong kita untuk bershadaqah kepada mereka.

8. Sesungguhnya dunia ini bukanlah diciptakan untuk kepuasan akan tetapi dunia ini diciptakan sebagai tempat untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya :
“ yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”[Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat : 2]

9. Kepuasan yang hakiki itu diraih dari apa-apa yang ada di sisi ALLAH Ta’ala, karena sesungguhnya segala yang ada di dunia ini akan binasa dan tetap kekal-lah wajah Rabb-mu. Sebagaimana firman ALLAH Ta’ala:
“semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." [Al-Qur’an surat Ar-Rahman ayat : 26-27]

10. Namun ketika seseorang mengejar perkara-perkara agama/akhirat, hendaknya ia senantiasa melihat kepada orang yang lebih tinggi ilmunya. Sehingga ia tidak pasrah dengan kekurangannya dalam mengejar perkara-perkara agama/akhirat, akan tetapi seharusnya ia bersemangat dan terdorong untuk berlomba-lomba (bersegera) dalam melaksanakan kebaikan.
Semoga bermanfaat,-

Kisah Mengharukan Dari Tanah Arab


Kisah Mengharukan Dari Tanah Arab

Saya hendak share cerita yang dikirimkan oleh teman melalui email, insya Allah sangat bermanfaat untuk kita semua. Silahkan disimak dan dibaca.
… KISAH NYATA DARI TANAH ARAB …
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah. Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.
Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.
Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini.
Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.
Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya.
Hari itu Ammar tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.
“Oh kamu tidak tahu?” Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.
“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.
Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar. Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.
Saya mendengarkan dengan seksama.
Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu.
Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.
Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.
Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.
Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.
Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.
Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…
Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir..
Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.
Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.
Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..
Amar seperti terjerat di belantara Kota ini. Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.
Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini.
Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.
Tapi Ammar pun Manusia. Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.
Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.
Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.
Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.
Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.
Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.
Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.
Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.
Adzan dzuhur bergema .. Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.
Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.
Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.
Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.
Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan, Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.
Shalat telah selesai. Ammar masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi.
Ia diam.
Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.
Selepas Maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.
Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.
Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota.
Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.
Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.
Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.
Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.
Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara, Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya. Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.
Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.
Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.
Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.
Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.
Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.
Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil .. Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya. Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.
Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.
Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.
Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
Prince mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajimu dalam satu bulan?”
Ammar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.
Prince memakluminya. Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”
Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400″, jawab Ammar.
Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang. 1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.
Tubuh Ammar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.
Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,
Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:
“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini”
Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya. Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.
Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.
Semua berubah dalam sekejap!
Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.
Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.
Nothing Imposible for Allah,
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..
Bumi inipun Milik Allah, ..
Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.
Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.
Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.
Subhanallah…
Seperti itulah buah dari kesabaran.
“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.
Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”.
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)
Allahuakbar!
Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya …
Wallahua’lam bish Shawwab ….
Barakallahufikum ….
… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …
~ o ~
Salam santun dan keep istiqomah …
— Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini … Itu hanyalah dari kami … dan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ., kami mohon ampunan … —-
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya …
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat tulisan ini bermanfat…

Sabtu, 27 April 2013

Kisah Satu gereja masuk Islam

Kisah Satu gereja masuk Islam

Ini kisah nyata seorang pemuda Arab yang menimba ilmu di Amerika rabu, 22 Februari 2006 silam.

Ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam, bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, ia berkenalan dengan salah seorang nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.

Pada suatu hari, mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan, namun karena ia terus mendesak, akhirnya pemuda itu pun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka.

Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan, lantas kembali duduk. Di saat itu, si pendeta agak terbelalak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, "Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini." Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya.

Hingga akhirnya pendeta itu berkata, "Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya." Barulah pemuda ini beranjak keluar. Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pendeta, "Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim?"Pendeta itu menjawab, "Dari tanda yang terdapat di wajahmu." Kemudian ia beranjak hendak keluar, namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengkokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut.

Sang pendeta berkata, "Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat." Si pemuda tersenyum dan berkata,"Silahkan!"

Sang pendeta pun mulai bertanya,
"◘ Sebutkan satu yang tiada duanya,

◘ Dua yang tiada tiganya,

◘ Tiga yang tiada empatnya,

◘ Empat yang tiada limanya,

◘ Lima yang tiada enamnya,

◘ Enam yang tiada tujuhnya,

◘ Tujuh yang tiada delapannya,

◘ Delapan yang tiada sembilannya,

◘ Sembilan yang tiada sepuluhnya,

◘ Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh,

◘ Sebelas yang tiada dua belasnya,

◘ Dua belas yang tiada tiga belasnya,

◘ Tiga belas yang tiada empat belasnya.

◘ Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh!

◘ Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya?

◘ Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga?

◘ Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya?

◘ Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu!

◘ Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api?

◘ Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu?

◘ Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar!

◘ Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan 2 di bawah sinaran matahari?"


Mendengar pertanyaan tersebut, pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah. Setelah membaca basmalah ia berkata,
"◘ Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.

◘ Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman, "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami)." (Al-Isra':12).

◘ Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.

◘ Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al- Qur'an.

◘ Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.

◘ Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ketika Allah SWT menciptakan makhluk.

◘ Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis. Allah SWT berfirman, "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang." (Al-Mulk:3).

◘ Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah SWT berfirman, "Dan malaikat-malaikat berada dipenjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas(kepala) mereka." (Al-Haqah: 17).

◘ Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa : tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang.

◘ Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang berbuat kebaikan, maka untuknya sepuluhkali lipat." (Al-An'am: 160).

◘ Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara-saudara Yusuf.

◘ Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu'jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air." (Al-Baqarah: 60).

◘ Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.

◘ Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Shubuh. Allah SWT ber-firman, "Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing." (At-Takwir:18).

◘ Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.

◘ Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Yusuf, yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala." Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, "tak ada cercaaan terhadap kalian." Dan ayah mereka Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

◘ Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai." (Luqman: 19).

◘ Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.

◘ Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, "Wahai api, dinginlah dan selamatkan Ibrahim." (Al-Anbiya': 69).

◘ Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).

◘ Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah tipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar." (Yusuf: 28).

◘ Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan 2 di bawah sinaran matahari. Maknanya: Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari."


Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta.

Pemuda ini berkata, "Apakah kunci surga itu?" 
Mendengar pertanyaan itu, lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.

Mereka berkata,
"Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab, sementara ia hanya memberimu 1 pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!"

Pendeta tersebut berkata,
"Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah." Mereka menjawab, "Kami akan jamin keselamatan anda."

Sang pendeta pun berkata,
"Jawabannya ialah : Asyhadu an La Ilaha Illallah wa'asyhaduanna Muhammadar Rasulullah."

Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu pun langsung memeluk agama Islam.


ALLAHU AKBAR! Sungguh Allah telah menganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertaqwa.

Semoga kisah nyata ini dapat menambah kuat iman kita sebagai seorang muslim, dan jika kisah nyata ini dibaca oleh orang non-muslim, semoga dia sadar dan memeluk agama yang paling benar, agama ALLAH SWT.

Yusha Evans : Misionaris yang Masuk Islam Setelah Menantang Khatib



Yusha Evans merupakan seorang misionaris muda yang lahir di South Carolina, Amerika Serikat. Dia dibesarkan oleh kakek (Indian-Amerika) dan neneknya (asal Irlandia) yang sangat konservatif dan selalu mengajarkannya berdoa sebelum makan, sebelum tidur, tidak boleh menyalakan musik keras-keras dan tidak membawa perempuan ke rumah.
‘’Itu yang saya pelajari di sekolah Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama nenek dan kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di sekolah Minggu.
Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen. Di akhir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu seperti sekolah normal.
Ketika berumur 15 tahun, nenek Yusha meminta pastur muda yang biasa melayaninya di gereja untuk mengantarkan cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki surat izin mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian. Pastur yang usianya tiga tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman baiknya.
Bersama pastur muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. Kelompok itu seperti yang kau lihat di televisi. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar.
Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, pastur pun berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang. Hal ini sangat menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang berbeda dari yang dipelajari saat masih kecil.
Menginjak usia 16 tahun, ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang misionaris. Sebagai seorang yang perfeksionis, ia ingin mendalami Kristen secara utuh. Ketika ia ingin sesuatu, maka apa yang ia lakukan harus terselesaikan.
Pada Suatu hari temannya yang bernama Benjamin datang ke rumahnya, dia tidak pernah menyangka, kehadiran temannya itu bakal menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan temannya itulah yang akhirnya membuat ia bersyahadat dan menjadi muallaf.
‘’Apakah kau pernah membaca seluruh isi Alkitab?’’Tanya Benjamin.
‘’Apa maksudmu? Saya seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu padaku?’’ cetus Yusha.
‘’Apakah kau pernah membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel, mengetahui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta tahu seluruh detail isinya?’’
Yusha mengaku tak pernah membaca Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk membaca kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Dia memintanya untuk membaca Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali Alkitab.
Maka mulailah Yusha membaca Alkitab dari (Kejadian 1:1) . Dia sangat tertarik dengan kisah para nabi. Dalam Alkitab, dikisahkan bahwa Nabi Nuh Alaihissalam menyampaikan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tetapi tidak ada satupun umatnya yang mengikuti seruannya.
Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghukum umat Nabi Nuh dengan mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh Alaihissalam serta orang-orang yang naik ke kapal saja yang selamat.
Setelah banjir, seperti dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh Alaihissalam meminum anggur dan keluar dalam keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nabi Nuh Alaihissalam seorang utusan Tuhan bisa bersikap seperti itu.
‘’Tidak mungkin seorang nabi bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.
Yusha kembali melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia menemukan kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya justru tak mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah seperti pelaku kriminal, yang justru dicari-cari polisi.
Dia sangat penasaran. Yusha kemudian bertanya kepada pendeta di gereja tempat melakukan misa. Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya berkata, ‘’Janganlah ilmu pengetahuan yang sedikit mempengaruhi keyakinanmu terhadap Yesus.’’
Yusha diminta agar tidak perlu mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada apa yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca Perjanjian Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai. Mereka memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.
Di dalam Perjanjian Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus berkata Tuhan itu satu. Hal tersebut terus diulang pada ayat dan surat berikutnya dengan cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa dalam 10 Perintah AllahSubhanahu Wa Ta’ala, hal pertama yang diperintahkan adalah menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang lain.
Yusha lalu mencari tahu mengenai Yesus. Dia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus memerintahkan hal yang sama, menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin menggebu. Dia mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran yang diterimanya, Yesus dipaku pada bagian tangannya.
Dalam hatinya muncul kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol. Seseorang yang telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di atas tiang. Dia pun menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta. Alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan khutbah Kristen di gerejanya.
Saat kondisi imannya sedang goyah, Benjamin kembali menemui Yusha. ‘’Aku telah membaca Alkitab berulang kali. Alkitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja ada salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna dan kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.
Sejak hari itu, Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Dia memutuskan meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Dia mempelajari Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga sempat membaca sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak membuatnya senang. Akhirnya dia pun memutuskan menjadi atheis.
‘’Tuhan, jika Engkau tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan sendiri,’’ Yusha memanjatkan sebuah doa disaat berusia 17 tahun.
Pada Suatu hari, Yusha pergi ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia itu, ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah mesin ATM. Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh orang-orang bersenjata.
Kejadian itu membuatnya sangat takut, sehingga hari itu juga Yusha kembali ke rumah neneknya. Da tidak menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang nenek. Dia menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.
Dalam mimpi itu, orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu, ia melihat sesuatu tengah menantinya di sisi lain kehidupan. Ia tidak mengetahuinya. Yusha sangat ketakutan sehingga terbangun dari mimpinya sambil berteriak.
Sang nenek datang dan bertanya, ‘’Mengapa kau berteriak?”. Lalu, Yusha menceritakan segalanya, tentang perampokan dan mimpi yang dialaminya.
‘’Tuhan mempunyai satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.
‘’Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Kau harus kembali pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.”
Yusha pun linglung. Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak menemukannya. Neneknya berkata, ‘’Tuhan tidak akan pergi kemana-mana, kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek tidak menyuruhnya untuk kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari Tuhan.
Yusha mulai menjadi agnostik (mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut agama apapun). Dia melakukan doa dengan caranya sendiri. Dia merasa jenuh dengan hal tersebut dan akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin aku mengenal-Mu, maka bimbinglah aku.”
Sejak saat itu, ia tidak mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Yusha ingin melihat apa yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama lain, namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai olehnya.
Sampai pada suatu hari, Yusha berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama Islam. Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, dia sama sekali tidak menyadari kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha mengenal dengan Islam yang sebenarnya.
Karena tidak mempercayai adanya komunitas Islam di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang Muslim itu mengajak Yusha ke masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan tentang Islam. Yusha selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya terdapat masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.
“Dan saya tidak menyadarinya!” ujarnya.
Ia lalu berkunjung ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki mendekatinya dan bertanya, ‘’Apa yang sedang kau lakukan di sini?’’
‘’Aku sedang menunggu Musa’’, jawabnya.
‘’Musa tidak terlalu sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat masjid, saya dengan senang hati akan mengantarkanmu’’, kata pria itu.
Awalnya. Yusha merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke masjid. Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Dia pun masuk ke dalam masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, dia berpikir bahwa lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud untuk membunuhnya. Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan kalimat-kalimat Arabnya, Yusha menyadari apa yang dikatakan khatib itu adalah tentang menyembah Tuhan yang satu.
Usai shalat Jumat, ia menemui khatib dan bertanya,‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’
‘’Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’’ Ketika sang khatib hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera memotongnya, ’’Saya tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila memang agama Anda benar, maka buktikanlah.’’
Kakeknya pernah berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, dia lalu diajak ke ruangannya. Khatib itu memberikannya Al-Quran, kitab suci umat Islam, lalu Yusha membawanya pulang dan membacanya.
Dia terperangah dan terpesona dengan Al-Quran yang dibacanya. Selama tiga hari, dia tidak dapat berhenti membacanya. Dia begitu meyakini kebenaran yang tercantum dalam Al-Quran. Yusha pun bertekad untuk menjadi seorang Muslim.
Yusha kembali ke masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.” ‘’Kau harus memahami satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Kau harus tahu tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam’’, kata sang khatib.
Yusha pun membaca tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad sebagai utusan Allah. Pada Desember 1998, Yusha yang bernama asli Joshua akhirnya memeluk Islam.
‘’Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’’
Sejak itu, ia mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika Serikat. Kini, Yusha menjadi seorang da’i dan penceramah. Umat Islam di negeri Paman Sam memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan AllahSubhanahu Wa Ta’ala, dengan menyebarkan ajaran Islam.
 
 
Copyright © 2013. mamabius - All Rights Reserved
Design by Luhur Muhammad Fatah | Powered By Blogger.com